Neo-Liberalisme adalah bentuk baru dari madzhab ekonomi pasar liberal. Yang mana system ini sebagai sebuah upaya untuk mengoreksi kelemahan yang terdapat dalam liberalisme. Sebagaimana diketahui, dalam paham ekonomi pasar liberal yang telah saya jelaskan di atas, pasar diyakini memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. Karena pasar dapat mengurus dirinya sendiri, maka campur tangan negara dalam mengurus perekonomian tidak diperlukan sama sekali. Tetapi setelah perekonomian dunia terjerumus ke dalam depresi besar pada tahun 1929, kepercayaan terhadap paham ekonomi pasar liberal merosot secara drastis. Pasar ternyata tidak hanya tidak mampu mengurus dirinya sendiri, tetapi dapat menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan. Depresi besar 1929 tidak hanya ditandai oleh terjadinya kebangkrutan dan pengangguran massal, tetapi bermuara pada terjadinya Perang Dunia II.
Menyadari kelemahan ekonomi pasar liberal tersebut, pada September 1932, sejumlah ekonom Jerman yang dimotori oleh Rustow dan Eucken mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap paham ekonomi pasar, yaitu dengan memperkuat peranan negara sebagai pembuat peraturan. Dalam perkembangannya, gagasan Rostow dan Eucken diboyong ke Chicago dan dikembangkan lebih lanjut oleh Ropke dan Simon[1].
Sudah menjadi maklum bahwa untuk mengegolkan system ekonomi neo-liberal, maka dibutuhkan pengemasan paket kebijakan ini dalam bentuk paket kebijakan ekonomi ordoliberalisme, inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal adalah sebagai berikut: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961). Tetapi dalam konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods, Amerika Serikat (AS) pada 1944, yang diselenggarakan untuk mencari solusi terhadap kerentanan perekonomian dunia, konsep yang ditawarkan oleh para ekonom neoliberal tersebut tersisih oleh konsep negara kesejahteraan yang digagas oleh John Maynard Keynes, yang selanjutnya disebut madzhab ekonomi Keynisianisme.
Sebagaimana diketahui, dalam konsep negara kesejahteraan atau keynesianisme, peranan negara dalam perekonomian tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal dan moneter, khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan menjamin stabilitas moneter. Terkait dengan penciptaan lapangan kerja, Keynes bahkan dengan tegas mengatakan: ”Selama masih ada pengangguran, selama itu pula campur tangan negara dalam perekonomian tetap dibenarkan.”.
Akan tetapi madzhab keynesianisme tidak bertahan lama. Pada awal 1970-an, menyusul terpilihnya Reagen sebagai presiden AS dan Tatcher sebagai Perdana Menteri Inggris, neoliberalisme secara mengejutkan menemukan momentum untuk diterapkan secara luas. Di Amerika hal itu ditandai dengan dilakukannya pengurangan subsidi kesehatan secara besar-besaran, sedang di Inggris ditandai dengan dilakukannya privatisasi BUMN secara massal.
Maka pada tahun 1980-an, madzhab ekonomi Neo-Leberalisme menemukan momentumnya dengan mengaplikasikannya di negara-negara sedang berkembang. Menyusul terjadinya krisis moneter secara luas di negara-negara Amerika Latin. Departemen Keuangan AS bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF), merumuskan sebuah paket kebijakan ekonomi neoliberal yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Inti paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.
Bila kita melihat perputaran kegiatan ekonomi di Indonesia, pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif berlangsung setelah perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997/1998 lalu. Secara terinci hal itu dapat disimak dalam berbagai nota kesepahaman yang ditandatatangani pemerintah bersama IMF. Setelah berakhirnya keterlibatan langsung IMF pada 2006 lalu, pelaksanaan agenda-agenda tersebut selanjutnya dikawal oleh Bank Dunia, ADB dan USAID. Walaupun menurut ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan penerapan system ekonomi neo-liberal yang purely sangat sulit ditemukan, semuanya serba dibatasi UU oleh negara dan negara juga sangat melindungi masyarakat dengan menerapkan kebijakan yang membantu masyarakat miskin[2]. Terutama dalam era Presiden SBY program ekonomi kerakyatan sudah mulai digulirkan yang dikenal dengan istilah triple track strategy; pro-job, pro poor dan pro-growth[3], yang dijabarkan dalam bentuk tiga program; KUR, PNPM, BLT. Akan tetapi secara makro program neo-libralisme masih kental dilakukan oleh pemerintah walaupun secara bertahap masuk dalam ekonomi yang pro-rakyat lewat program-programnya. Intinya mesin neo-liberalisme masih berputar dalam system perputaran ekonomi Indonesia yang dikomparasikan dengan program pro-rakyat.
Kesimpulan, sebagai bentuk baru liberalisme adalah neo-liberalisme pada dasarnya tetap sangat memuliakan mekanisme pasar. Campur tangan negara, walau pun diakui diperlukan, harus dibatasi sebagai pembuat peraturan dan sebagai pengaman bekerjanya mekanisme pasar. Sebagai bentuk baru dalam madzhab neo-liberalisme ini menelurkan kebijakan-kebijakan: kebijakan pro pasar, negara mencampuri pasar dalam pembuatan UU., persaingan bebas, pengakuan kepemilikan individu, kebijakan anggaran ketat termasuk penghapusan system subsidi, penentuan harga pasar oleh pemerintah, liberalisasi sector keuangan, liberalisasi perdagangan dan privatisasi BUMN.
Desain pembangunan ekonomi di Indonesai sampai sekarang masih menggunakan madzhab ekonomi liberal dan neo liberal, Karena ilmu ekonomi yang diajarkan pada hampir semua fakultas ekonomi di Indonesia dibangun di atas kerangka kapitalisme, maka sesungguhnya sulit dielakkan bila 99,9 persen ekonom Indonesia memiliki kecenderungan untuk menjadi penganut neoliberalisme.
[1]. Revrisond Baswir, “Neo-Liberalisme; Teori dan Konsep”, Pusat Study Ekonomi Kerakyatan UGM, 20 Mei 2009.
[2]. www.detik.com, “Ekonomi Neo-Liberal; Masih Adakah?”, tanggal: 14/5/2009.
[3]. www. presidenri.go.id, “Triple Track Strategy”, tanggal: 21/12/2006.